Gereja Rilis Data Hampir 50 Balita Meninggal Akibat Penyakit di Tigi Barat |
![]() |
![]() |
![]() |
Written by Telius Yikwa |
Friday, 21 July 2017 04:14 |
Deiyai, Jubi – Gereja Katolik Dekenat Paniai, Keuskupan Timika, Papua telah melakukan pendataan langsung terhadap balita yang meninggal akibat penyakit di sejumlah kampung, di antaranya Desa Ayatei, Desa Digikotu, Desa Piyakedimi, Desa Yinudoba, dan Desa Epanai. Dalam diskusi terbuka, kematian 50 orang Mee pada 16 Juli 2017 dengan masyarakat, terungkap akibat dan penyebab kematian orang Mee. Korban yang sempat didata tersebut ialah para korban dalam kurun pertengahan April hingga 15 Juli 2017.
Pater Paroki Deiyai, Tigi Barat, Pater Damianus Adii, Pr kepada Jubi menjelaskan, kematian bayi ini sebelumnya disebarkan Kepala Distrik Tigi Barat Fransiskus Bobii pada Minggu, 9 Juli 2017. “Dalam laporannya, beliau menulis jumlah korban 30 bayi, tetapi setelah kami mendata ulang, ternyata jumlah korban adalah 50 anak bayi, termasuk dewasa, atas dasar data laporan wabah ini, saya siap menjelaskan beberapa hal,” ungkap P. Damianus Adii, Pr, Kamis, (20/7/2017).
Menurutnya, Dinas Kesehatan Kabupaten Deiyai, para dokter, perawat, dan mantri bergerak langsung ke lokasi kejadian. Pada Jumat, 14 Juli 2017 siang pukul 10 sampai 3 sore melakukan pengobatan massal. Pukul 4-5 sore mengadakan evaluasi di kantor Distrik Tigi Barat. Menurut medis gejala penyakitnya antara lain, ISPA, campak, diare, dan disentri. “Tetapi, menurut pendataan kami kepada keluarga korban gejala tubuh pasien adalah panas tinggi, mencret (diare), mulut luka-luka, mata merah, dan tiba-tiba meninggal, waktu sakitnya satu hari sampai empat hari langsung meninggal dunia,” jelasnya.
Penyebab kematian, ungkap dia, dalam diskusi-diskusi terbatas di kalangan masyarakat, terungkap beberapa persepsi yang kiranya perlu diklarifikasi lebih lanjut, sebab pandangan medis dan masyarakat berbeda. “Pemerintah Deiyai sudah bangun Pustu di beberapa kampung, tetapi pelayanan dari para medis dan Dinas Kesehatan tidak ada selama ini, kami hanya melihat gedung saja,tidak ada prasarana medis dan obat-obatan, hanya yang ada di kampung-kampung adalah rumah Pustu tanpa pelayanan medis,” katanya.
Rumah itu, lanjutnya, menjadi kandang dan kotoran kambing dan babi. "Masyarakat dengan jelas mengatakan kejadian kematian adalah musibah yang luar biasa,” tuturnya. Ia menilai Pemerintah Kabupaten Deiyai dan Pemprov Papua buta melihat musibah kejadian luar biasa ini. Padahal korban kematian masih berlanjut hingga Juli 2017. Karena ittu, masyarakat melihat kepala dinas, para dokter, perawat, kaget dan bergerak cepat setelah terjadi musibah, tanpa antisipasi sebelum kejadian. Sementara, Pater Santon Tekege, Pr mengatakan, pihaknya telah menyuarakan masalah kesehatan, pemerintah juga diundang bahkan menjadi pemateri dalam diskusi yang bertemakan kesehatan. Tetapi masalah kesehatan tetap saja ada, tidak ada tindak lanjut.
Ia menuturkan, gereja menilai bahwa pemerintah setempat lamban mengatasi wabah kematian puluhan bayi di Deiyai. Karena itu, pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab wabah luar biasa tersebut. Gereja menilai kasus tersebut adalah Kejadian Luar Biasa (KLB) karena kematiannya sudah lebih 10 anak bayi atau 50 anak bayi. “Di mana Pemerintah Indonesia (Jakarta), di mana Pemerintah Provinsi Papua? Dan di mana Pemerintah Kabupaten Deiyai? Sebuah kebutaan Anda dalam menyelamatkan anak bayi ciptaan Allah ini,” ujarnya. “Pemerintah Indonesia harus bertanggungjawab atas wabah kematian 50 balita di Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai, di Tanah Papua dan masyarakat asli Papua menilai bahwa Pemerintah Indonesia sengaja melakukan pembiaraan kematian wabah kematian tanpa penanganan serius selama ini di Tanah Papua,” tandasnya.
Sumber : http://tabloidjubi.com |
Last Updated on Friday, 21 July 2017 04:20 |